MAKALAH
QADARIYAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pembimbing : Drs. H. Muktafi Muhtar, M.Pd.I

Disusun
Oleh :
Imam Syafi`i
Faisol Anwar
Fuad Fahmi
Dauli Rasul
Fitria Ali
Istifadhah
Mufarrahah
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH
“MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG
MODUNG BANGKALAN
2013
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qadariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qudrah yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Secara terminologi qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat difahami bahwa
qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan
dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan yang melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan qadariyah
diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah
laku manusia, baik yang bagus maupun yang jelek. Namun, sebutan tersebut telah
melekat pada kaum Sunni yang percaya
bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut yang kami kutip dari
buku Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh
lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama
qadariyah.
Hadits
tersebut berbunyi:
الاءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ
آلْقَدَرِيّةُ
Artinya:
“Kaum qadariyah adalah majusinya umat ini.”
B. Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Tentang kapan munculnya faham qadariyah dalam Islam tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada
beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum
khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati
dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan
menentukannya sendiri. Menurut yang kami kutip dari buku Abuddin Nata, bahwa
faham qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghalian Al-Dimasyqy.
Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain
bahwa yang pertama kali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang
semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang
dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi
dari Al-Auzai adalah Susan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah
muncul, ada banyak kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun
belum sepakat mengenai hal ini karena penganut qadariyah ketika itu banyak
sekali.
Sebagian
terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan
Al-Basri dan sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus,
diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di
istana-istana Khalifah.
Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam,
ketika itu ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini,
yaitu:
1.
Seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam
kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba
sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak
mampu menghadapi kasukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya,
sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan mereka tidak dapat menerima karena
dianggap bertentangan dengan Islam.
2.
Tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintah menganut faham
jabariyah. Pemerintah menganggap bahwa faham qadariyah sebagai suatu usaha
menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada gilirannya mampu
mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan
dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
C. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tokoh yang
pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani
dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.
1.
Ma’bad Al-Jahani
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal yang
dikutip dalam Sirajuddin Zar menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat
dipercaya tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang
qadar, lalu ia dibunuh oleh Al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu Al-Asy’as.
Tampaknya di sini ia dibunuh karena soal politik meskipun kebanyakan mengatakan
bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada
Hasan Al-Bashri dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya.
2.
Ghilan Ibnu Muslim Al-Dimasyqy
Sepeninggal Ma’bad Ghilan Ibnu Muslim Al-Dimasyqy yang
dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin Al-Zarkali dalam buku Sirajuddin
Zar yang kami kutip, menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada
masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai
pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya di hadapan
Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan
mazhabnya. Ia ahirnya mati dihukum bunuh olah Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743).
Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’i
yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution
nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar yang mendustakan
bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan
posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia
dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk
tidak melasanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut
perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah
lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan
bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan
agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika
Allah memberi beban kepada manusia namun Allah tidak memberikan kekuatan, maka
beban itu adalah sia-sia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham
qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah
laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas
kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan
memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang
baik berupa surga di akhirat atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu atas
pilihannya sendiri.
Selanjutnya, menyangkut faham qadariyah itu dipengaruhi oleh
faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai
ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah, di antaranya yaitu:
1.
Surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
2.
Surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya:
Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat
dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini
sesat atau keluar dari Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara terminologi qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya sendiri atau untuk tidak melasanakan kehendaknya itu. Dalam
menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang
menentukan tanpa ada campur tangan Tuhan..
Faham ini dipengaruhi oleh faham yang diambil dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat menimbulkan faham qadariyah.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan yang melaksanakan
kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah
telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan
kehendaknya.
B. Saran
Faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, maka dari itu tidak
ada alasan untuk kita jika ada sebagian dari kita menilai faham ini sesat atau
keluar dari Islam, karena faham ini dipengaruhi oleh faham yang diambil dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat menimbulkan faham qadariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon.
2006, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia.
Nata, Abuddin.
1995, Ilmu Kalam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Nasution, Harun.
1986, Teologi Islam. Jakarta: UI Press.
Zar, Sirajuddin.
2003, Teologi Islam. Padang: IAIN
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar