Sabtu, 26 April 2014

MAKALAH QADARIYAH

MAKALAH
QADARIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pembimbing : Drs. H. Muktafi Muhtar, M.Pd.I









Disusun Oleh :
 Imam Syafi`i
Faisol Anwar
Fuad Fahmi
Dauli Rasul
Fitria Ali
Istifadhah
Mufarrahah

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
 “MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG MODUNG BANGKALAN
2013
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qadariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qudrah yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat difahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan yang melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jelek. Namun, sebutan tersebut telah melekat pada kaum Sunni yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut yang kami kutip dari buku Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama qadariyah.
Hadits tersebut berbunyi: 
 الاءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ
Artinya:
Kaum qadariyah adalah majusinya umat ini.”



B.     Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Tentang kapan munculnya faham qadariyah dalam Islam  tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukannya sendiri. Menurut yang kami kutip dari buku Abuddin Nata, bahwa faham qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghalian Al-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai adalah Susan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada banyak kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut qadariyah ketika itu banyak sekali.
Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri dan sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus, diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana Khalifah.
Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam, ketika itu ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, yaitu:
1.      Seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kasukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya, sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan mereka tidak dapat menerima karena dianggap bertentangan dengan Islam.
2.      Tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintah menganut faham jabariyah. Pemerintah menganggap bahwa faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

C.    Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.
1.      Ma’bad Al-Jahani
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal yang dikutip dalam Sirajuddin Zar menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar, lalu ia dibunuh oleh Al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu Al-Asy’as. Tampaknya di sini ia dibunuh karena soal politik meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya.
2.      Ghilan Ibnu Muslim Al-Dimasyqy
Sepeninggal Ma’bad Ghilan Ibnu Muslim Al-Dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin Al-Zarkali dalam buku Sirajuddin Zar yang kami kutip, menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya di hadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya. Ia ahirnya mati dihukum bunuh olah Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar yang mendustakan bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melasanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia namun Allah tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu atas pilihannya sendiri.
Selanjutnya, menyangkut faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah, di antaranya yaitu:
1.      Surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

2.      Surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya:
Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara terminologi qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melasanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan tanpa ada campur tangan Tuhan..
Faham ini dipengaruhi oleh faham yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat menimbulkan faham qadariyah.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan yang melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya.

B.     Saran
Faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, maka dari itu tidak ada alasan untuk kita jika ada sebagian dari kita menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam, karena faham ini dipengaruhi oleh faham yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat menimbulkan faham qadariyah.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2006, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 1995, Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986, Teologi Islam. Jakarta: UI Press.

Zar, Sirajuddin. 2003, Teologi Islam. Padang: IAIN Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar