Selasa, 10 Juni 2014

GARAM DAN TELAGA

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu ‎pagi, datanglah seorang anak muda yang ‎sedang dirundung ‎banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. ‎Tamu itu memang ‎tampak seperti orang yang tak bahagia.‎
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua ‎masalahnya. Pak tua yang bijak, hanya ‎mendengarkannya ‎dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan ‎meminta tamunya ‎untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya ‎garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. ‎‎“coba minum ‎ini, dan katakana bagaimana rasanya”, ujar Pak tua itu.‎
‎“Pahit, pahit sekali”, jawabsang tamu, sambil meludah ke ‎samping.‎
Pak tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ‎untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan ‎dekat tempat ‎tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan ‎akhirnya sampailah mereka ‎ke tepi telaga yang tenang itu.‎
Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam ‎ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, ‎dibuatnya ‎gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ‎ketenangan telaga itu. “Coba ‎ambil air dari telaga ini, dan ‎minumlah.” Saat tamu itu selesai meneguk air itu, Pak tua berkata ‎lagi, ‎‎“Bagaimana rasanya?” ‎
‎“Segar”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam ‎di dalam air itu?”, Tanya pak tua lagi. ‎‎“Tidak”, jawab si anak muda.‎
Dengan bijak, pak tua itu menepuk-nepuk punggung si ‎anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk ‎berhadapan, bersimpuh ‎di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya ‎kehidupan, adalah ‎layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak ‎kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan ‎memang ‎akan tetap sama.‎
‎“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat ‎tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan ‎itu, akan ‎dirasakan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu ‎semua tergantung pada hati ‎kita. Jadi, saat kamu merasakan ‎kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang ‎bisa ‎kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. ‎Luaskanlah hatimu untuk menampung ‎setiap kepahitan itu.”‎
Pak tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu ‎adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat ‎itu. Kalbumu ‎adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan ‎hatimu itu seperti ‎gelas, buatlah ia laksana telaga yang mampu ‎meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi ‎kesegaran ‎dan kebahagiaan.”‎

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama ‎belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, ‎kembali ‎menyimpan ‘segenggam garam’, untuk anak muda yang lain, ‎yang sering datang padanya ‎membawa keresahan jiwa.‎

MISI HIDUP DALAM SEBUAH KERJA


Seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum ‎jenaka di sela-sela pipinya yang bulat, duduk menggelar nasi ‎bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan ‎dan kuli angkot yang sudah menunggu sejak tadi mengerubungi ‎dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka menu dan rasa ‎bukan soal, yang terpenting adalah harganya yang luar biasa ‎murah.‎

Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang ‎dengan harga sedemikian rendah. Lalu apa untungnya? Wanita ‎itu terkekeh menjawab, “Bisa numpang makan dan beli sedikit ‎sabun.” Tapi bukankah ia bisa menaikkan harga sedikit? Sekali ‎lagi ia terkekeh, “Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa ‎yang mau menyediakan sarapan buat mereka?” katanya sambil ‎menunjukkan para kuli yang kini berlompatan ke atas truk ‎pengantar mereka ke tempat kerja.‎

Ah! Betapa cantiknya, bila sebongkah misi hidup ‎dipadukan dalam sebuah kerja. Orang-orang yang memahami ‎benar kehadiran karyanya, sebagaimana wanita tua di atas, yang ‎bekerja demi setitik kesejahteraan hidup manusia, adalah tiang ‎penyangga yang menahan langit agar tak runtuh. Merekalah ‎beludru halus yang membuat jalan hidup yang tampak keras ‎berbatu ini menjadi lembut bahkan mengobati luka. Bukankah ‎demikian tugas kita dalam kerja? Menghadirkan secercah ‎kesejahteraan bagi sesama.‎

MUSLIM AWAM MEMBUNGKAM OCEHAN INTELEK ‎LIBERAL TENTANG KHILAFAH

PERNYATAAN INTELEK LIBERAL
Salam, Orang yang masih percaya "negara agama universal", apapun namanya: negara universal Kristen (seperti terjadi di zaman abad pertengahan) atau negara khilafah, sama dengan orang yang masih percaya bahwa bumi itu datar, atau bumi itu dikelilingi matahari.
Sejarah bergerak terus, dan bentuk negara agama (termasuk negara khilafah) sudah menjadi bagian dari masa lampau, dan sebaiknya disimpan di museum saja: enak ditonton, tapi tak usah dihidup-hidupkan lagi. Dinosaurus memang enak ditonton, tetapi kalau dihidupkan lagi pasti akan menakutkan banyak orang.
Jikapun negara khilafah itu didukung oleh argumen agama, maka saya tak peduli. Dalil agama bukan dalil yang harus bertahan permanen. Banyak teks agama yang harus dibatalkan, karena sudah tak masuk akal.

TANGGAPAN MUSLIM AWAM
Saya justru tidak habis pikir bila masih ada orang yang menganggap mustahil berdirinya kembali khilafah. Keterlaluan dangkal dan piciknya pandangan mereka. Apakah visi mereka terkena rabun jauh sehingga hanya mampu menjangkau satu abad atau satu generasi atau malah hanya satu dekade ke depan? Atau barangkali ada bagusnya kita bersangka baik --atau buruk?-- bahwa mereka itu sebetulnya hanya berpura-pura menutup dan memicingkan mata; sebagai bentuk ghazwul fikri untuk menghapus cita-cita --atau katakanlah utopia-- khilafah itu dari benak kaum muslimin.
Khilafah bagi kaum muslimin --sekarang ini-- memang merupakan impian indah yang tidak mustahil --bahkan pasti-- terwujud kelak, tapi merupakan mimpi buruk bagi kaum kuffar, zindiq dan munafiq. Segala daya dan kekuatan mereka kerahkan untuk membendung geliat ummat Islam (saya tidak berbicara tentang HT dan saya bukan HT) ke arah itu. Saya kira mereka yang sedikit bervisi tajam, bisa membaca kegelisahan, kekuatiran bahkan mungkin sudah sampai pada tingkat kepanikan mereka menghadapi kemungkinan berulangnya kembali sejarah khilafah.
Konyolnya kamu mengangkat si Dino sebagai tamsil kemustahilan kebangkitan kembali khilafah. Dinosaurus memang sudah musnah dan tinggal fosil. Tapi manusia, muslim militan, mujahid dakwah masih eksis hingga sekarang. Calon khalifah setiap saat bisa lahir dari rahim kaum hawa (ataukah anak-cucu Adam dan Hawa juga telah musnah seperti Dino?).
Harap dibedakan tingkatan maknanya antara cita-cita, utopia (khayalan) dan impossible (mustahil).  Cita-cita berarti suatu target yang secara realitas mampu diraih. Seperti seorang anak yang rajin belajar bercita-cita kelak jadi doktor. Utopia berarti suatu keinginan yang secara realitas "nyaris" (99%) tidak mungkin tercapai. Misalnya Indonesia berencana mencaplok Amerika dalam waktu dekat ini. Sedangkan mustahil berarti sesuatu yang memang tidak mungkin terjadi. Contohnya kamu ingin hidup seribu tahun lagi. Bagaimana dengan khilafah? Khilafah sudah pernah terjadi jadi jelas bisa dan bukan mustahil. Persoalannya tinggallah utopia ataukah cita-cita.
Khilafah adalah utopia bila realitas eksternal dan internal ummat Islam --secara manusiawi-- belum memungkinkan. Dan dia beralih menjadi sebuah cita-cita bila kualitas dan kuantitas keberagamaan dan keduniawian ummat Islam telah mencapai taraf tertentu. Nah, berbicara tentang realitas (situasi dan kondisi), hanya orang dungu yang menyangka realitas tidak bisa berubah secara ekstrim, baik dalam jangka pendek apalagi panjang.
Saya jadi teringat dengan ungkapan Albert Einstein ketika --tidak lama setelah Nagasaki dan Hiroshima dilumat bom atom dalam Perang Dunia Kedua-- ditanya: bisakah anda memberi gambaran kira-kira bagaimana kemampuan persenjataan bila terjadi PD III? Dengan mata tajam menerawang dia menjawab: saya tidak mampu menerangkan bagaimana model senjata PD III; tapi agaknya saya bisa membayangkan senjata apa yang dipakai di PD IV. Sedikit heran, si penanya tak sabaran: senjata apa itu? Einstein menjawab dengan ketus dan serius: KAPAK.
Apa maksudnya? Bila PD III benar-benar meletus maka --menurut prediksi Einstein sang arsitek bom atom-- jarum sejarah ummat manusia akan berputar kembali ke zaman batu (sebut saja zaman neo-batu). Infrastruktur teknologi dan peradaban yang dibangun dan dibangga-banggakan sekian lama, hancur tidak bersisa. Sehingga bila terjadi PD IV (mungkin di zaman neo-perunggu) tidak bisa lain, orang bersenjatakan kapak perang. Saya tidak ingin ikut-ikutan berprediksi futuristik bahwa boleh jadi peristiwa Dajjal dipenggal lehernya oleh Nabi Isa (seperti informasi Nabi) terjadi di zaman itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perubahan realitas secara spektakuler adalah hal yang lumrah dan biasa, bisa terjadi setiap saat. Jangan terpaku dan termangu dengan kebekuan dan kebuntuan masa kini.
Bayangan bakal terjadinya perang dunia ketiga dengan model senjata pemusnah (bukan lagi massal) tapi global merupakan horor yang sangat menakutkan negara-negara "maju" yang justru mereka sendiri yang membuat dan menyimpannya. Lihatlah betapa sinting dan rapuhnya peradaban yang katanya maju ini. Lebih bodoh dan goblok lagi karena mereka pun memandang geliat kebangkitan khilafah sebagai teror yang tidak kalah menakutkannya. Padahal khilafah merupakan institusi kepemimpinan ummat Islam yang berlandaskan dan berpedoman dengan aqidah dan syariat Islam itulah yang akan mengarahkan dunia menuju peradaban yang tidak hanya mengusung HAM (Hak Asasi Manusia) tapi terlebih lagi menjunjung tinggi HAT (Hak Asasi Tuhan).
Sekali lagi, utopia, cita-cita atau realita? Ketiga-tiganya benar pada ruang dan waktunya masing-masing. Tugas kita sekarang adalah berusaha berislam dengan baik sesuai Sunnah Nabi dan Sunnah al-Khulafa' ar-Rasyidun serta orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat agar khilafah berubah dari utopia menjadi cita-cita dan seterusnya menjadi realita. Kemungkinan besar kita tidak ikut menyaksikan terwujudnya khilafah itu, tapi yang penting adalah kita sudah berada dalam barisan panjang jama'ah muslimin yang ikut memimpikan, mewacanakan, mengarahkan, merintis hingga membidani lahirnya khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah di akhir zaman kelak. 

Jadi jangan dihiraukan ocehan orang-orang liberal yang tidak percaya dengan janji-janji Tuhan dan tidak mengenal yang namanya militansi perjuangan dalam Islam. Walhasil, apapun yang diomongkan oleh kaum liberal, semua itu hanyalah ekspresi kebencian dan ketakutan mereka terhadap Islam dan khilafah.

DINAMIKA PEMIKIRAN DALAM ISLAM

DINAMIKA PEMIKIRAN DALAM ISLAM

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account. Epistemologi atau theory of knowledge ini sering diuraikan sebagai is that branch of philosophy which concerned with nature and scope of knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge.[1]
Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.[2]
Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani:[3]
1.      Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini.
Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidal langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.[4]
2.      Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan sidemonstrasikan.
Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.[5]
3.      Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih].
Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge by intellect]. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.[6] Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Ketiga, kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayatayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini.
Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam. Namun, jika dalam perkembangannya, kajian epistemologis dalam literatur Barat dapat membuka prespektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multidimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan penggunaan rasio [burhan] secara maksimal, sebagaimana pernah dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulat-postulat al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental. Usaha tersebut dilakuak dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas, baik yang nyata [ fisis ] maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qur’an.[7]
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah bapak angkatnya.” Dalam perjalanan sejaran lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.[8]
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit muali meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat, khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit.
Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran an redupnya mercusuar peradabannya. Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada [bayani, irfani atau kasyf dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan“, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[9] Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah.[10] Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran.[11] Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.



[1] DW. Hamlyn, 1972, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards, The Encyclopaedia of Philosophy, MacMillan Publishisng Co,Inc, and The Pree Press, New York, hlm. 9.
[2] R. Harre, 1978, The Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University Press, London, hlm. 5.
[3] Muhammad Abid al-Jabiri, 1990, Bunyat Aqli al-Arabi. Dirosat Ta’liiliyyat Naqdiyyai Linadhmi al-Ma;rifah fi al-Soqofah al-Arrobiyyat, Markas al-Wahdah al-Rabiah, Beirut, hlm. 556.
[4] Ibid. hlm. 556.
[5] Ibid. hlm. 252.
[6] Ibid. hlm. 383-384.
[7] 7Syamsul Arifin dkk, 1996, Spritualisasi Islam dan Peradaban Mada Depan, Sipress, Yogyakarta, hlm.108.
[8]  Jujun S. Suriasumantri,1988, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 115.
[9] Anom S. Putra dkk,1999, “Revolusi Nalar Islami: Menangguhkan Teks, Mencari Subyek”. Dalam Gerbang : Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02 Th. II, hlm. 26.
[10] Harun Nasution,1986, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, hlm. 90.
[11] QS al Baqarah, hlm. 269.