Selasa, 10 Juni 2014

GARAM DAN TELAGA

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu ‎pagi, datanglah seorang anak muda yang ‎sedang dirundung ‎banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. ‎Tamu itu memang ‎tampak seperti orang yang tak bahagia.‎
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua ‎masalahnya. Pak tua yang bijak, hanya ‎mendengarkannya ‎dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan ‎meminta tamunya ‎untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya ‎garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. ‎‎“coba minum ‎ini, dan katakana bagaimana rasanya”, ujar Pak tua itu.‎
‎“Pahit, pahit sekali”, jawabsang tamu, sambil meludah ke ‎samping.‎
Pak tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ‎untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan ‎dekat tempat ‎tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan ‎akhirnya sampailah mereka ‎ke tepi telaga yang tenang itu.‎
Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam ‎ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, ‎dibuatnya ‎gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ‎ketenangan telaga itu. “Coba ‎ambil air dari telaga ini, dan ‎minumlah.” Saat tamu itu selesai meneguk air itu, Pak tua berkata ‎lagi, ‎‎“Bagaimana rasanya?” ‎
‎“Segar”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam ‎di dalam air itu?”, Tanya pak tua lagi. ‎‎“Tidak”, jawab si anak muda.‎
Dengan bijak, pak tua itu menepuk-nepuk punggung si ‎anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk ‎berhadapan, bersimpuh ‎di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya ‎kehidupan, adalah ‎layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak ‎kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan ‎memang ‎akan tetap sama.‎
‎“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat ‎tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan ‎itu, akan ‎dirasakan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu ‎semua tergantung pada hati ‎kita. Jadi, saat kamu merasakan ‎kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang ‎bisa ‎kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. ‎Luaskanlah hatimu untuk menampung ‎setiap kepahitan itu.”‎
Pak tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu ‎adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat ‎itu. Kalbumu ‎adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan ‎hatimu itu seperti ‎gelas, buatlah ia laksana telaga yang mampu ‎meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi ‎kesegaran ‎dan kebahagiaan.”‎

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama ‎belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, ‎kembali ‎menyimpan ‘segenggam garam’, untuk anak muda yang lain, ‎yang sering datang padanya ‎membawa keresahan jiwa.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar