Rabu, 11 Juni 2014

Qashas Al-Qur’an


MAKALAH
QASHAS AL-QUR’AN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ulumul Qur’an”

Dosen Pembimbing : Drs. Haidar Dardini, MEI.



Disusun Oleh :
Masfufatun Nikmah
Siti Rahmah
Lailatul Amalia
Asmaul Husna
Masturoh

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
MIFTAHUL ULUM
KEDUNGDUNG MODUNG BANGKALAN
2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………..………………..............………..........……........................………............i
Daftar Isi………………….........……………………………..........................………...................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakan………....………......………………........................………........................ 1
B.  Rumusan Masalah…………...…….…………………….......................……...............…..2
C.  Tujuan…………………….................…………………….................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1.  Pengertian Qashashul Qur’an .............................................................................................3
2.  Macam-macam, Urgensi dan bagaimana contoh  Qashashul Qur’an .................................3
3.  Urgensi pengulangan Qashas dalam Al-Qur’an .................................................................4
4.  Sanggahan atau prsepsi orientalis terhadap Qasash Al-Quran ...........................................5
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan……………………………………………............................................…... 11
B.     Saran..................................................................................................................................11
Daftar Pustaka…………………………................……..……......................................................12


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Menurut Az-Zarqani, ulumul quran merupakan suatu bidang studi yang membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran, baik dilihat dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang menimbulkan keraguan terhadap Alquran dan sebagainya.
Dalam Alquran terdapat beberapa pokok-pokok kandungan. Diantara pokok-pokok kandungan Alquran adalah aqidah, syariah, akhlak, sejarah, iptek, dan filsafat. Sebagian orang seperti Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Alquran menjadi dua pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah.1 Namun sesuai dengan tema makalah ini hanya akan dijelaskan secara lebih rinci terkait dengan bidang sejarah.
Kandungan Alquran tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul Quran (kisah-kisah Alquran). Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah).[1]

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Qashashul Qur’an ?
2.      Apa saja macam-macam, Urgensi dan bagaimana contoh  Qashashul Qur’an ?
3.      Bagaimana Urgensi pengulangan Qashas dalam Al-Qur’an ?
4.      Bagaimana sanggahan atau prsepsi orientalis terhadap QasashAl-Quran ?

C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Qashas Al-Quran.
2.      Untuk mengetahui macam-macam, urgensi, dan contoh Qashas Al-Quran
3.      Mengetahui Urgensi Qashas Al-Quran.
4.      Mengetahui sanggahan Orientalis terhadap Qashas Al-Quran.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qashas Al-Qur’an
Dari segi bahasa, kata qashash berasal dari bahasa arab al qashshu atau al qishshatu yang berarti cerita.3 dikatakan قَصَصْتُ أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al qashash adalah bentuk masdar. Firman allah: فَارْتَدَّا عَلىٰ آثَارِهِمَاقَصَصًا (al kahfi :64). Dan firman allah melalui lisan ibu musa: وَقَالَتْ لأُ خِتِهِ قُصِّيهِ (dan berkatalah ibu musa kepada saudaranya yang perempuan: ikutilahdia.) [al qashash : 11]. Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qashash berarti berita yang berurutan. Firman allah: إِنْ هَذَا لَهُوَالْقَصَصُ الْحَقُّ (sesungguhnya ini adalah berita yang benar.) [ali imran : 62]. Sedang al qishah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qashash al qur’an adalah pemberitaan qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.[2]

B.     Macam-macam, Urgensi dan contoh Qashas Al-Qur’an
1.      Macam-macam Qashas Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al qur’an ada tiga macam.
Pertama, kisah para Nabi terdahulu. Kisah ini mengandung informasi mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun dan Isa.
Kedua, kisah-kisah menyangkut pribadi-pribadi dan golongan-golongan dengan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan Ashabul kahfi.[3]
Ketiga, kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah SAW. Seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab,bani quraizah, bani nadzir dan zaid bin haritsah dengan abu lahab.
2.      Urgensi Qashas Al-Qur’an.
3.      Contoh Qashas Al-Qur’an.

C.    Urgensi pengulangan Qashas Al-Qur’an
Urgensi pengulangan Al-Quran tercantum dalam Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an.
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahis fi ‘Ulumil Quran menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisa dalam Al-Qur’an adalah:
1.      Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.
2.      Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.
3.      Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
4.      Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan. Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.

D.    Sanggahan terhaap orientalis
Al Qur’an yang disepakati umat Islam sebagai verbum dei (kalamullah) dan dijamin (mahfudz) oleh Allah SWT otentisitasnya dari segala bentuk distorsi, mistranskripsi, pergantian maupun perubahan, serta sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW yang relevansinya masih terus berlaku di segala zaman dan waktu. Eksistensinya tidak luput dari gangguan – gangguan para orientalism yang berupaya memalingkan pemahaman umat Islam terhadap sejarah Al Qur’an.
Hampir sebagian orientalism ketika mengkaji sejarah Al Qur’an cenderung negatif. Hal ini disebabkan pandangan hidup mereka (world view) ketika mengkaji sejarah Al Qur’an lebih didominasi oleh ideologi dan teologi mereka. Banyak ungkapan – ungkapan miring yang mereka lontarkan ketika menelaah sejarah Al Qur’an, seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Abraham Geiger (m.1874) seorang reformis yahudi di jerman yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW terpengaruh oleh ajaran yahudi dan salah dalam memahami taurat sehingga Al Qur’an yang dibawanya juga banyak mengandung kesalahan. Bahkan Geiger diakui diakui oleh Andrew Rippin (orientalis kontemporer) sebagai orientalis pertama yang menggunakan pendekatan baru, yaitu dengan menggunakan aspirasi modern dalam memahami Al Qur’an. Geiger menulis karyanya dalam bahasa latin, kemudian dipublikasikan pada tahun 1833 dalam bahasa jerman dengan judul Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen ? (What Did Muhammad borrow from judaism?). dalam karyanya, Geiger berpendapat bahwa kata – kata yang terdapat dalam Al Qur’an seperti Tabut, Taurat, Jannatu’adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqon, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal dari bahasa Ibrani (Adnin Armas, MA, 2003).
Pemikiran – pemikiran Abraham Geiger tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh para orientalis lainnya, dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke menyebutkan banyak kekeliruan didalam Al Qur’an karena katanya, “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi – kecerobohan nama-nama dan perincian lain yang ia curi dari sumber-sumber yahudi. Dengan membuat daftar kesalahan ia menyebut :
(Bahkan) orang yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih… (dan) dalam kebodohannya tentang sesuatu diluar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir – dimana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang – karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil.
Ini merupakan satu upaya yang menyedihkan hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang lain, siapa orangnya yang menyebut bahwa Fir’aun tidak memiliki seseorang menteri bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam kitab suci terdahulu ? Dalam kebohongannya Noldeke tidak mau menunjuk bahwa Al Qur’an menyebut Maryam (Ibu al-Masih) sebagai “saudara perempuan Harun”, bukan Musa (Prof.Mustafa Al-‘Azami, 2005).
Upaya para orientalism dalam mendistorsi Al-Qur’an bukan hanya sekedar menyebarkan pendapat-pendapat yang bohong, tapi mereka juga berusaha untuk mengubah Al – Qur’an, seperti apa yang dilakukan oleh Flugel (1847) mencetak sejenis indeks al Qur’an. Ia juga menguras tenaga ingin mengubah teks – teks al Qur’an yang berbahasa arab dan pada akhirnya, menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh pembaca al Qur’an di manapun. Adalah sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum muslimin untuk membaca al Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan terkenal, yang semuanya mengikuti kerangka tulisan utsmani dan sunnah dalam bacaannya (qiro’ah), perbedaan-perbedaan yang ada kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat – ayat itu.
Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh Qiro’ah yang diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qiro’ah di sana sini dengan tidak menetu (tanpa alasan yang benar) yang hanya membuahkan ramuan cocktail tak berharga. Begitu pula apa yang dilakukan oleh Regis Blachere ketika menterjemahkan makna al Qur’an ke dalam bahasa perancis (Le Coran, 1949), bukan hanya sekedar mengubah urutan surat – surat al Qur’an, bahkan juga menambahkan dua ayat fiktif ke dalam batang tubuh teks. Dia berpijak pada cerita palsu dimana – katanya – setan yang memberi “wahyu” kepada Nabi Muhammad SAW yang tampaknya tidak dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantera – mantera orang kafir seperti tercatat dalam cerita itu. Tak satu pun jaringan transmisi bacaan maupun 250.000 manuskrip al Qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu di mana secara keseluruhan berseberangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya, yang pada dasarnya berseberangan dengan inti al Qur’an yang sesungguhnya (Moh. Mustafa al ‘Azami, 2005).

Tuduhan terhadap Mushaf Utsmani
Dari beberapa kajian para orientalis terhadap sejarah al Qur’an, hal – hal yang sering menjadi gugatan mereka adalah mengenai mushaf Utsmani. Para orientalis meyakini bahwa mushaf Utsmani yang sekarang ini hanya mengandung satu dari ratusan versi bacaan al Qur’an yang ada sebelum standarisasi yang dilakukan Utsman ibn Affan r.a. Bahkan mereka menuduh mushaf Utsmani sebagai rekayasa politik yang proses unifikasinya penuh dengan intrik – intrik. Sehingga keyakinan bahwa Allah SWT telah menjaga al Qur’an seperti janji-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9 dianggap hanya sebuah angan – angan teologis (al-khayal ad-diniy) yang diformulasikan menjadi sebuah doktrin keagamaan. (Nur Faizin Muhith, Republika 2005).
Hal yang demikian tentu saja tidak memiliki data yang akurat, karena justru yang terjadi adalah kesepakatan para ulama untuk mengakui eksistensi dan keakuratan mushaf Utsmani.
Mus’ab ibn Sa’d menyatakan bahwa tidak seorang pun dari kaum Muhajirin, Anshor, dan Ahl ‘Ilmi yang mengingkari perbuatan Utsman ibn Affan r.a. Bahkan Ali ibn Abi Thalib pernah menyatakan, “Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai mushaf sebagaimana yang Utsman buat”. Thabit Ibn Imarah al-Hanafy menyatakan bahwa ia mendengar dari Ghanim Ibn Qis al-Mazni yang menyatakan “Seandainya Utsman belum menulis Mushaf, maka manusia akan mulai membaca puisi”. Selanjutnya, Abu Majlaz mengatakan, “Seandainya Utsman tidak menulis al-Qur’an, maka manusia kan terbiasa membaca puisi”. (Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Daud Sulaiman al-Sijistani dan Fadail al-Qur’an karya Abu Ubayd).



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Dari segi bahasa, kata qashash berasal dari bahasa arab al qashshu atau al qishshatu yang berarti cerita.3 dikatakan قَصَصْتُ أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”.
2.      Kissah dalam Al-Quran ada tiga macam
a.       Pertama kisah-kisah pada Masa Nabi
b.      Kedua, kisah-kisah menyangkut pribadi-pribadi dan golongan-golongan
c.       Ketiga, kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah SAW.
3.      Urgensi pengulangan Al-Quran tercantum dalam Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an.
a.       Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an.
b.      Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an.
c.       Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan
d.      pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa.
e.       Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan.
4.      Upaya para orientalism dalam mendistorsi Al-Qur’an bukan hanya sekedar menyebarkan pendapat-pendapat yang bohong, tapi mereka juga berusaha untuk mengubah Al – Qur’an, seperti apa yang dilakukan oleh Flugel (1847) mencetak sejenis indeks al Qur’an. Ia juga menguras tenaga ingin mengubah teks – teks al Qur’an yang berbahasa arab dan pada akhirnya, menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh pembaca al Qur’an di manapun.

B.  Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap bagi para pembaca untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar penyusunan makalah ke depannya mencapai kesempurnaan.




DAFTAR PUSTAKA
Al khattan, manna’khalil. 1996. Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.
Syaltut, Mahmud , al-Islam Aqidah wa al-Syariah (Beirut: Dar al-Qalam, 1966)
Warson Munawwir, Ahmad. 1984. Kamus Al Munawwir. Yogyakarta: UPBIK pondok pesantren krapyak.




[1] Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syariah (Beirut: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 11
[2] Al khattan, manna’khalil, studi ilimu-ilmu al qur’an (Bogor; pustaka litera antarnusa, 1996) cetakan ke-3.
[3] al Kaththan, op.cit.,h.431

Tidak ada komentar:

Posting Komentar