MAKALAH
QASHAS
AL-QUR’AN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ulumul Qur’an”
Dosen Pembimbing : Drs. Haidar Dardini, MEI.
Disusun Oleh :
Masfufatun Nikmah
Siti Rahmah
Lailatul Amalia
Asmaul Husna
Masturoh
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
“MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG MODUNG BANGKALAN
2014
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………..………………..............………..........……........................………............i
Daftar
Isi………………….........……………………………..........................………...................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakan………....………......………………........................………........................
1
B.
Rumusan
Masalah…………...…….…………………….......................……...............…..2
C.
Tujuan…………………….................…………………….................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Qashashul Qur’an .............................................................................................3
2.
Macam-macam,
Urgensi dan bagaimana contoh Qashashul
Qur’an .................................3
3.
Urgensi
pengulangan Qashas dalam Al-Qur’an
.................................................................4
4.
Sanggahan
atau prsepsi orientalis terhadap Qasash Al-Quran ...........................................5
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………………………............................................…...
11
B.
Saran..................................................................................................................................11
Daftar
Pustaka…………………………................……..……......................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut Az-Zarqani, ulumul quran merupakan suatu bidang studi yang membahas
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran, baik dilihat dari segi
turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya,
kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang menimbulkan keraguan
terhadap Alquran dan sebagainya.
Dalam Alquran terdapat beberapa pokok-pokok kandungan. Diantara pokok-pokok
kandungan Alquran adalah aqidah, syariah, akhlak, sejarah, iptek, dan filsafat.
Sebagian orang seperti Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Alquran menjadi dua
pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah.1 Namun sesuai dengan tema
makalah ini hanya akan dijelaskan secara lebih rinci terkait dengan bidang
sejarah.
Kandungan Alquran tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul
Quran (kisah-kisah Alquran). Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah
jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini
memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang
memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah).[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian Qashashul Qur’an ?
2.
Apa
saja macam-macam, Urgensi dan bagaimana contoh
Qashashul Qur’an ?
3.
Bagaimana
Urgensi pengulangan Qashas dalam Al-Qur’an ?
4.
Bagaimana
sanggahan atau prsepsi orientalis terhadap QasashAl-Quran ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Qashas Al-Quran.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam, urgensi, dan contoh Qashas Al-Quran
3.
Mengetahui
Urgensi Qashas Al-Quran.
4.
Mengetahui
sanggahan Orientalis terhadap Qashas Al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qashas Al-Qur’an
Dari segi bahasa, kata qashash berasal dari bahasa arab al qashshu atau
al qishshatu yang berarti cerita.3 dikatakan قَصَصْتُ أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari
jejaknya”. Kata al qashash adalah bentuk masdar. Firman allah: فَارْتَدَّا عَلىٰ آثَارِهِمَاقَصَصًا (al kahfi :64). Dan
firman allah melalui lisan ibu musa: وَقَالَتْ لأُ
خِتِهِ قُصِّيهِ (dan berkatalah ibu musa kepada saudaranya yang perempuan:
ikutilahdia.) [al qashash : 11]. Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu
melihat siapa yang mengambilnya.
Qashash berarti berita yang berurutan. Firman allah: إِنْ هَذَا لَهُوَالْقَصَصُ الْحَقُّ (sesungguhnya ini
adalah berita yang benar.) [ali imran : 62]. Sedang al qishah berarti urusan,
berita, perkara dan keadaan.
Qashash al qur’an adalah pemberitaan qur’an tentang hal ihwal umat yang
telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi.[2]
B.
Macam-macam, Urgensi dan contoh Qashas Al-Qur’an
1.
Macam-macam
Qashas Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al qur’an ada tiga macam.
Pertama, kisah para Nabi terdahulu. Kisah ini
mengandung informasi mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat
yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan
dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang
mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun dan Isa.
Kedua, kisah-kisah menyangkut pribadi-pribadi dan
golongan-golongan dengan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk
dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan
Ashabul kahfi.[3]
Ketiga, kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada
masa Rasulullah SAW. Seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab,bani
quraizah, bani nadzir dan zaid bin haritsah dengan abu lahab.
2.
Urgensi
Qashas Al-Qur’an.
3.
Contoh
Qashas Al-Qur’an.
C.
Urgensi pengulangan Qashas Al-Qur’an
Urgensi pengulangan Al-Quran tercantum dalam Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an.
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahis fi ‘Ulumil
Quran menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisa dalam Al-Qur’an
adalah:
1. Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an. Sebab di antara keistimewaan
balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang
berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang
berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan
dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat
membacanya di tempat lain.
2. Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna
dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat
ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa
Al-Qur’an itu datang dari Allah.
3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya
lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah
satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
4. Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari
makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan.
Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan
tuntutan keadaan.
D.
Sanggahan terhaap orientalis
Al Qur’an yang
disepakati umat Islam sebagai verbum dei (kalamullah) dan dijamin (mahfudz)
oleh Allah SWT otentisitasnya dari segala bentuk distorsi, mistranskripsi,
pergantian maupun perubahan, serta sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW yang
relevansinya masih terus berlaku di segala zaman dan waktu. Eksistensinya tidak
luput dari gangguan – gangguan para orientalism yang berupaya memalingkan
pemahaman umat Islam terhadap sejarah Al Qur’an.
Hampir sebagian
orientalism ketika mengkaji sejarah Al Qur’an cenderung negatif. Hal ini
disebabkan pandangan hidup mereka (world view) ketika mengkaji sejarah Al
Qur’an lebih didominasi oleh ideologi dan teologi mereka. Banyak ungkapan –
ungkapan miring yang mereka lontarkan ketika menelaah sejarah Al Qur’an,
seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Abraham Geiger (m.1874) seorang reformis
yahudi di jerman yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW terpengaruh oleh
ajaran yahudi dan salah dalam memahami taurat sehingga Al Qur’an yang dibawanya
juga banyak mengandung kesalahan. Bahkan Geiger diakui diakui oleh Andrew
Rippin (orientalis kontemporer) sebagai orientalis pertama yang menggunakan
pendekatan baru, yaitu dengan menggunakan aspirasi modern dalam memahami Al
Qur’an. Geiger menulis karyanya dalam bahasa latin, kemudian dipublikasikan
pada tahun 1833 dalam bahasa jerman dengan judul Was hat Mohammed aus dem
Judenthume aufgenommen ? (What Did Muhammad borrow from judaism?). dalam
karyanya, Geiger berpendapat bahwa kata – kata yang terdapat dalam Al Qur’an
seperti Tabut, Taurat, Jannatu’adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt,
Taghut, Furqon, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal dari bahasa Ibrani (Adnin
Armas, MA, 2003).
Pemikiran – pemikiran
Abraham Geiger tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh para orientalis
lainnya, dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke menyebutkan
banyak kekeliruan didalam Al Qur’an karena katanya, “kejahilan Muhammad”
tentang sejarah awal agama Yahudi – kecerobohan nama-nama dan perincian lain
yang ia curi dari sumber-sumber yahudi. Dengan membuat daftar kesalahan ia
menyebut :
(Bahkan) orang yahudi
yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri
Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan
Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih… (dan) dalam kebodohannya tentang
sesuatu diluar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir – dimana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang – karena hujan,
dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil.
Ini merupakan satu
upaya yang menyedihkan hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang
lain, siapa orangnya yang menyebut bahwa Fir’aun tidak memiliki seseorang
menteri bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam kitab suci terdahulu ?
Dalam kebohongannya Noldeke tidak mau menunjuk bahwa Al Qur’an menyebut Maryam
(Ibu al-Masih) sebagai “saudara perempuan Harun”, bukan Musa (Prof.Mustafa
Al-‘Azami, 2005).
Upaya para orientalism
dalam mendistorsi Al-Qur’an bukan hanya sekedar menyebarkan pendapat-pendapat
yang bohong, tapi mereka juga berusaha untuk mengubah Al – Qur’an, seperti apa
yang dilakukan oleh Flugel (1847) mencetak sejenis indeks al Qur’an. Ia
juga menguras tenaga ingin mengubah teks – teks al Qur’an yang berbahasa arab
dan pada akhirnya, menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh
pembaca al Qur’an di manapun. Adalah sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum
muslimin untuk membaca al Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh
pakar bacaan terkenal, yang semuanya mengikuti kerangka tulisan utsmani dan
sunnah dalam bacaannya (qiro’ah), perbedaan-perbedaan yang ada kebanyakan
berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama
sekali terhadap isi kandungan ayat – ayat itu.
Setiap mushaf yang
dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh Qiro’ah yang diikuti secara seragam
sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan
dan memilih satu qiro’ah di sana sini dengan tidak menetu (tanpa alasan yang
benar) yang hanya membuahkan ramuan cocktail tak berharga. Begitu pula
apa yang dilakukan oleh Regis Blachere ketika menterjemahkan makna al Qur’an ke
dalam bahasa perancis (Le Coran, 1949), bukan hanya sekedar mengubah
urutan surat – surat al Qur’an, bahkan juga menambahkan dua ayat fiktif ke
dalam batang tubuh teks. Dia berpijak pada cerita palsu dimana – katanya –
setan yang memberi “wahyu” kepada Nabi Muhammad SAW yang tampaknya tidak dapat
membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantera – mantera orang kafir seperti
tercatat dalam cerita itu. Tak satu pun jaringan transmisi bacaan maupun
250.000 manuskrip al Qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu di mana
secara keseluruhan berseberangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan
berikutnya, yang pada dasarnya berseberangan dengan inti al Qur’an yang
sesungguhnya (Moh. Mustafa al ‘Azami, 2005).
Tuduhan terhadap Mushaf
Utsmani
Dari beberapa kajian para orientalis terhadap sejarah al Qur’an, hal – hal
yang sering menjadi gugatan mereka adalah mengenai mushaf Utsmani. Para
orientalis meyakini bahwa mushaf Utsmani yang sekarang ini hanya mengandung
satu dari ratusan versi bacaan al Qur’an yang ada sebelum standarisasi yang
dilakukan Utsman ibn Affan r.a. Bahkan mereka menuduh mushaf Utsmani sebagai
rekayasa politik yang proses unifikasinya penuh dengan intrik – intrik.
Sehingga keyakinan bahwa Allah SWT telah menjaga al Qur’an seperti janji-Nya
dalam surat al-Hijr ayat 9 dianggap hanya sebuah angan – angan teologis (al-khayal
ad-diniy) yang diformulasikan menjadi sebuah doktrin keagamaan. (Nur Faizin
Muhith, Republika 2005).
Hal yang demikian tentu saja tidak memiliki data yang akurat, karena justru
yang terjadi adalah kesepakatan para ulama untuk mengakui eksistensi dan
keakuratan mushaf Utsmani.
Mus’ab ibn Sa’d
menyatakan bahwa tidak seorang pun dari kaum Muhajirin, Anshor, dan Ahl ‘Ilmi
yang mengingkari perbuatan Utsman ibn Affan r.a. Bahkan Ali ibn Abi Thalib
pernah menyatakan, “Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat
mengenai mushaf sebagaimana yang Utsman buat”. Thabit Ibn Imarah al-Hanafy
menyatakan bahwa ia mendengar dari Ghanim Ibn Qis al-Mazni yang menyatakan “Seandainya
Utsman belum menulis Mushaf, maka manusia akan mulai membaca puisi”.
Selanjutnya, Abu Majlaz mengatakan, “Seandainya Utsman tidak menulis
al-Qur’an, maka manusia kan terbiasa membaca puisi”. (Kitab al-Masahif
karya Ibn Abi Daud Sulaiman al-Sijistani dan Fadail al-Qur’an karya Abu
Ubayd).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dari segi bahasa, kata
qashash berasal dari bahasa arab al qashshu atau al qishshatu yang
berarti cerita.3 dikatakan قَصَصْتُ
أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”.
2.
Kissah dalam Al-Quran
ada tiga macam
a.
Pertama kisah-kisah
pada Masa Nabi
b.
Kedua, kisah-kisah
menyangkut pribadi-pribadi dan golongan-golongan
c.
Ketiga, kisah-kisah
menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah SAW.
3. Urgensi pengulangan Al-Quran tercantum dalam Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an.
a. Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an.
b.
Menunjukkan kehebatan
mukjizat Al-Qur’an.
c.
Memberikan perhatian
besar terhadap kisah tersebut agar pesan
d.
pesannya lebih mantap
dan melekat dalam jiwa.
e.
Perbedaan tujuan yang
karena kisah itu diungkapkan.
4. Upaya para orientalism dalam mendistorsi Al-Qur’an bukan hanya sekedar
menyebarkan pendapat-pendapat yang bohong, tapi mereka juga berusaha untuk
mengubah Al – Qur’an, seperti apa yang dilakukan oleh Flugel (1847) mencetak
sejenis indeks al Qur’an. Ia juga menguras tenaga ingin mengubah teks – teks al
Qur’an yang berbahasa arab dan pada akhirnya, menghasilkan suatu karya yang
tidak dapat diterima oleh pembaca al Qur’an di manapun.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis berharap bagi para
pembaca untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar penyusunan makalah ke
depannya mencapai kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al khattan,
manna’khalil. 1996. Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an (Bogor: Pustaka Litera
Antarnusa.
Syaltut, Mahmud , al-Islam
Aqidah wa al-Syariah (Beirut: Dar al-Qalam, 1966)
Warson Munawwir, Ahmad.
1984. Kamus Al Munawwir. Yogyakarta: UPBIK pondok pesantren krapyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar