DINAMIKA
PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga
saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat
manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau
diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal
dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek],
episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account.
Epistemologi atau theory of knowledge ini sering diuraikan sebagai is
that branch of philosophy which concerned with nature and scope of
knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim
to knowledge.[1]
Bidang epistemologis ini menempati posisi yang
sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu
pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan
sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.[2]
Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki
tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani:[3]
1.
Epistemologi
bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman
seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini.
Epistemologis bayani merupakan suatu
cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara
langsung maupun tidal langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap
teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan
menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.[4]
2.
Epistemologi
irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah
kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan
pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak
bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit
dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan sidemonstrasikan.
Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa
individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran.
Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang
dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa
yang definite.[5]
3.
Epistemologi
burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih].
Epistemologi burhani ini dalam bidang
keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah.
Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge
by intellect]. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.[6] Karena
epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri
utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga, kecenderungan
epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari
al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayatayat yang berbicara tentang
pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal
dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang
jelas untuk hal ini.
Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula
paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada
intuisi [ hati atau perasaan] terdalam. Namun, jika dalam perkembangannya,
kajian epistemologis dalam literatur Barat dapat membuka prespektif baru dalam
kajian ilmu pengetahuan yang multidimensional, kecenderungan epistemologi dalam
pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan
mengabaikan penggunaan rasio [burhan] secara maksimal, sebagaimana
pernah dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara
tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor
utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif,
para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian
memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari
postulat-postulat al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental.
Usaha tersebut dilakuak dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual
sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas, baik yang nyata [ fisis ]
maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu,
lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qur’an.[7]
Metode eksperimen dikembangkan oleh
sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya
mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang
dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran
Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah
bapak metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah bapak angkatnya.”
Dalam perjalanan sejaran lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan
Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.[8]
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M,
pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit muali meninggalkan tradisi pelacakan
dalam filsafat, khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis
dan asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia
sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi haram.
Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para
filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan
ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit.
Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang
awal kemunduran an redupnya mercusuar peradabannya. Pada prinsipnya, Islam
telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada [bayani,
irfani atau kasyf dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi
oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf]
yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada
penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada
penggunaan rasio [akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks
yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah
menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan
akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah
bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan
melengkapi dengan teks.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi,
bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun.
Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman
yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada
dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism.
Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan“,
akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Pendekatannya yang
supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika
paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan
sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan
dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada
kemunduran pola pikir manusia.[9] Dalam
menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka
seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani
dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani.
Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash].
Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam
perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan
ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan
agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan
zaman yang terus berubah.[10] Epistemologi
burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan
teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini,
penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi
melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu
dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap
terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi
[terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern
saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas
rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan,
sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan
antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena
secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar
peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang
muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul
albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr,
juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan
katsiran.[11]
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam
membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan
dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap
bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan
umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara
keseluruhan.
[1] DW. Hamlyn, 1972,
“History of Epistemology” dalam Paul Edwards, The Encyclopaedia of
Philosophy, MacMillan Publishisng Co,Inc, and The Pree Press, New York,
hlm. 9.
[2] R. Harre, 1978, The
Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University Press,
London, hlm. 5.
[3] Muhammad Abid
al-Jabiri, 1990, Bunyat Aqli al-Arabi. Dirosat Ta’liiliyyat Naqdiyyai
Linadhmi al-Ma;rifah fi al-Soqofah al-Arrobiyyat, Markas al-Wahdah
al-Rabiah, Beirut, hlm. 556.
[5]
Ibid. hlm. 252.
[6]
Ibid. hlm. 383-384.
[7]
7Syamsul Arifin dkk, 1996, Spritualisasi
Islam dan Peradaban Mada Depan, Sipress, Yogyakarta, hlm.108.
[8]
Jujun
S. Suriasumantri,1988, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 115.
[9]
Anom S. Putra dkk,1999, “Revolusi Nalar
Islami: Menangguhkan Teks, Mencari Subyek”. Dalam Gerbang : Jurnal Pemikiran
Agama dan Demokrasi, Edisi 02 Th. II, hlm. 26.
[10]
Harun Nasution,1986, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, hlm. 90.
[11] QS
al Baqarah, hlm. 269.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar