MAKALAH
JABARIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pembimbing : Drs. H. Muktafi Muhtar, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Adam Bukhori
Abdur Rahman
Abdul Qadir Jailani
Ahmad Faiz Amin
Ahmad Zainuddin
Aisa Muslimah
Asma’ul Husna
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH
“MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG
MODUNG BANGKALAN
2013
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jabariyah
Sebelum
kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran
Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri,
baik secara etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari
kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. (Abdul Razak, 2009 : 63).
Pengertian
arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan
suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata
Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah)
mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan
kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa
paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya
dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah
disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah.
(Harun Nasution, 1986 : 31).
Dapat
kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur
keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan
qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang
melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan
makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan
digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.
B.
Sejarah Munculnya
Aliran Jabariyah
Mengenai
asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
factor, antara
lain:
1.
Faktor
Politik
Pendapat
Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa
keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah
dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan
Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia
bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata
bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah
berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata"
dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Golongan
Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan
Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin
Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula
mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua
perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham
Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut
sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama
mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut
sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan
meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum, Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat
Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah
sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah
menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran
kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar
kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga
serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum
Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut
Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap
adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri
tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari
paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk,
dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala
di hari kiamat.
Berkaitan
dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah
adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum
Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba
berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah
meyakininya.
2.
Faktor
Geografi
Para
ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh
besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang
ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian,
bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai
dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap fatalisme.
C.
Tokoh-tokoh Serta Doktrin Ajaran
1.
Ja'd Bin
Dirham
Ia
adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung
oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Adapun pendapat-pendapatnya yaitu:
a.
Tidak
pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an
surat An-Nisa ayat 164.
b.
Bahwa Nabi
Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat
An-Nisa.
2.
Jahm bin
Shafwan
Ia
bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan
dengan Bani Ummayah.
Adapun pendapat-pendapatnya yaitu:
a.
Bahwa
keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum
pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin
mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti.
Hendaklah manusia
menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran
mengenai ketuhanan.
b.
Iman itu
adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak
meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya.
Maka tidaklah ada
perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia
adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda
tingkatnya.
c.
Tidak
memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada
manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu.
Maka Allah tidak diberi
sifat sebagai satu zat, sesuatu yang hidup, alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki
sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan
Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu
hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
D.
Ciri-ciri Ajaran Jabariyah
Diantara
ciri-ciri ajaran Jabariyah yaitu:
1.
Bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik
yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2.
Bahwa
Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3.
Ilmu Allah
bersifat Huduts (baru).
4.
Iman cukup
dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5.
Bahwa
Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.
Bahwa
surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7.
Bahwa
Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8.
Bahwa Alqur'an
adalah makhluk dan bukan kalamullah.
E.
Penolakan Terhadap Faham
Jabariyah
Kelompok
Jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari
bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang
ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia
terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai
kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang
ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah
kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan
syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah
bahwa takdir telah terjadi.
Akidah
yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa
semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya
dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada
manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena
hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan
semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan
usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa
yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna
baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan
hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga
mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang
dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan
dikehendaki oleh Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi
diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam
melakukan setiap sesuatu atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan.
Dapat kita simpulkan
bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa
segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas
kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.
Pendapat Jabariah
diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan
keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan
bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah.
Golongan Jabariyah
pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan
Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H.
B.
Saran
Dalam
masalah ini
manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut
arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk
memilih apa yang diinginkannya sendiri.
Para
ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu
dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa
keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai
keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
DAFTAR PUSTAKA
Razak, Abdul. 2009, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia.
Nasution, Harun.
1986, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar