Sabtu, 26 April 2014

MAKALAH ASY'ARIYAH

MAKALAH
ASY'ARIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aqidah Ilmu Kalam
Dosen Pembimbing : Drs. H. Muktafi Muhtar, M.Pd.I

                                                                                                                                     



                                                                                                            
Disusun Oleh :
 Muadzin Zainuddin Ahkam
Musthafiyah
Moh. Mu'iz
Nur Hasanah
Nuril Romadhoni
Nailis Surur
Rizal Hilmi

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
 “MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG MODUNG BANGKALAN
2013
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa perkembangan Ilmu Kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan aqidah dengan menggunakan rasio telah menjadi beban, karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ary adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen barat ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli dan munculnya kelompok Asy’ariyah yang tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap faham Mu'tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu'tazilah di mata Al-Asy'ary yaitu mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan dan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Asy`ariyah adalah sebuah faham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ary. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ary, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ary dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur di Baghdad.
Sejak kecil ia berguru pada Syech Al-Jubba’i seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-Mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan faham Mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak sefaham dengan gurunya dan ketidakpuasannya terhadap aliran Mu’tazilah, maka ia membentuk faham yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Adapun ketidakpuasan Al-Asy’ary terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah:
1.      Menurut Ahmad Mahmud Subhi, karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ary yang mendorongnya untuk keluar dari faham Mu’tazilah. Keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah.  Misalnya madhab Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2.      Menurut Hammudah Ghurabah, karena ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Jubba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Abu Hasan Al-Asy’ary yang semula berfaham Mu'tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah, sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa ia telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu'tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan). Abu Hasan al-Asy’ary membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logika akal serta teks-teks Al-Quran dan Hadits yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat untuk mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al), bahkan bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri, karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrem dan juga menafikan ikhtiar dari dzat-Nya. Dalam pandangan Asy’ariyah Tuhan itu adil, sedangkan dalam pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Adapun teori Abu Hasan al-Asy’ary adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah, yaitu:
1.      Wujud (ada).
2.      Qidam (dahulu).
3.      Baqa' (kekal).
4.      Mukhalafatu Lil Hawaditsi (berlawanan dengan sesuatu yang baru).
5.      Qiyamuhu Binafsihi (berdiri dengan sendirinya).
6.      Wahdaniyat (satu).
7.      Qudrat (berkuasa).
8.      Iradhat (berkehendak).
9.      'Ilmu (mengetahui).
10.  Hayat (hidup).
11.  Sama' (mendengar).
12.  Bashar (melihat).
13.  Kalam (berkata).



B.     Pemikiran Al-Asy'ary dalam Masalah Aqidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqidah; yaitu:
1.      Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubba'i bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya yang berlangsung selama 40 tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk aqidah Mu'tazilah hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
2.      Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan faham dengan faham-faham Mu'tazilah yang telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Mu'tazilah selama 15 hari. Selama itu beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran aqidah Mu'tazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
a.       Qudrat (berkuasa).
b.      Iradhat (berkehendak).
c.       'Ilmu (mengetahui).
d.      Hayat (hidup).
e.       Sama' (mendengar).
f.       Bashar (melihat).
g.      Kalam (berkata).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki dan seterusnya, beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lain sebagainya.
3.      Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki dan seterusnya, akan tetapi  beliau tidak melakukan hal-hal, di antaranya:
a.       Takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah).
b.      Ta'thil (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki).
c.       Tamtsil (menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu).
d.      Tahrif (menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya).
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci aqidah salaf dan manhajnya.

C.    Tokoh-tokoh dan Ajaran-ajaranya
Adapun tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya sebagai berikut:
1.      Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ary dari dua murid Al-Asy’ary, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili, wafat di Bagdad pada tahun 1013 M.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ary, misalnya sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sefaham dengan Al-Asy’ary mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ary perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Menurutnya, yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada ekstrem, dalam mengikuti suatu pendapat dan memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidak buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2.      Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Nama aslinya tidak begitu dikenal, akan tetapi ia dikenal dengan nama Iman Al-Haramain. Ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ary, misalnya tangan Tuhan diartikan ta’wil kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain. Dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.


3.      Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahun 1058-1111 Masehi. Faham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan faham-faham Al-Asy’ary. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud di luar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang faham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

D.    Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ary
Formulasi pemikiran Al-Asy’ary secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ary yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.      Tuhan dan sifat-sifatNya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa menesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ary dihadapkan pada dua pandangan ekstrem. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah dan kelompok Musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan Al-Sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Dalam pihak lain ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secara harfiyah melainkan harus dijelaskan secara alegoris. Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ary berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tapa dalam hal ini tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ary berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitas-Nya tidak terpisah dari esensi-Nya.
2.      Kebebasan dalam berkehendak
Dari dua pendapat yang ekstrem, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendaat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy'ary membedakan antara Khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khalik (pencipta)  perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri adalah muktasib (yang mengupayakannya). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3.      Akal dan wahyu
Walapun Al-Asy’ary dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ary mengutanakan wahyu, sementara Mu’tazilah megutamakan akal.


4.      Baik dan buruk
Dalam menentukan baik buruk terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ary berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
5.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ary dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (mkhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzab Hambali dan Zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah yang qadim dan tidak diciptakan. Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ary tidaklah diciptakan, sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)," Maka jadilah ia.(Q.S. An-Nahl:40).
6.      Melihat Allah
Al-Asy’ary tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Muktazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ary yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
7.      Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ary dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Allah harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
8.      Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ary menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya jika tidak mukmin maka ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.











PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Asy‘ary adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen barat ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Asy`ariyah adalah sebuah faham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ary. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ary, seorang sahabat Rasulullah saw..
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqidah.
Formulasi pemikiran Al-Asy’ary secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah.
Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ary tidaklah diciptakan, sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)," Maka jadilah ia.(Q.S. An-Nahl:40).

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi baiknya makalah yang disusun berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon.  2003, Ilmu Kalam, Bandung : CV Pustaka Setia.
Montgomery, Watt. 1999,  Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta: Tiara Wacana.
Nasution, Harun. 2002, Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Rozak, Abdul. 2009, Filsafat Ilmu Kalam; Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam, Surakarta: Annual Conference.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar