MAKALAH
ASY'ARIYAH
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aqidah Ilmu Kalam

Disusun Oleh :
Muadzin Zainuddin Ahkam
Musthafiyah
Moh. Mu'iz
Nur Hasanah
Nuril Romadhoni
Nailis Surur
Rizal Hilmi
SEKOLAH TINGGI
ILMU TARBIYAH
“MIFTAHUL ULUM”
KEDUNGDUNG
MODUNG BANGKALAN
2013
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa perkembangan Ilmu Kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan
aqidah dengan menggunakan rasio telah menjadi beban, karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat
barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen
yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ary adalah salah
satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen barat ketika
menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode
aqidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli dan munculnya kelompok Asy’ariyah yang tidak lepas
dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap faham Mu'tazilah yang berkembang pada saat
itu. Kesalahan dasar Mu'tazilah di mata
Al-Asy'ary yaitu mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan dan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Asy`ariyah adalah sebuah
faham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ary. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ary,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbatkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ary dilahirkan
pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324
H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i
di Masjid Al-Manshur di Baghdad.
Sejak kecil ia berguru pada Syech Al-Jubba’i seorang
tokoh Mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia
menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah
ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-Mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan faham
Mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak
sefaham dengan gurunya dan ketidakpuasannya terhadap aliran
Mu’tazilah,
maka
ia membentuk faham yang dikenal dengan namanya sendiri pada
tahun 300 Hijriyah.
Adapun ketidakpuasan Al-Asy’ary
terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah:
1. Menurut
Ahmad Mahmud Subhi, karena adanya keragu-raguan dalam diri
Al-Asy’ary yang mendorongnya untuk keluar dari faham
Mu’tazilah. Keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab
Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah. Misalnya madhab Syafi’i
berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim
dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham
Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits
dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat
dilihat dengan mata.
2. Menurut
Hammudah Ghurabah, karena ajaran-ajaran
yang diperoleh dari Al-Jubba’i menimbulkan
persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Misalnya
tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Abu Hasan Al-Asy’ary
yang semula berfaham Mu'tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah,
sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa ia telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Mu'tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan).
Abu Hasan
al-Asy’ary membuat
pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah
logika akal serta
teks-teks Al-Quran dan Hadits yang ada. Hujah-hujah
yang dikumpulkan cukup kuat untuk mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang
pada masa itu.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah
dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu
menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar,
baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan
tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan
ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al),
bahkan bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri, karena
ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrem dan
juga menafikan ikhtiar dari dzat-Nya. Dalam pandangan Asy’ariyah Tuhan
itu adil, sedangkan dalam pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak
adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang
bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Adapun
teori Abu Hasan
al-Asy’ary adalah
mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah, yaitu:
1. Wujud (ada).
2. Qidam (dahulu).
3. Baqa' (kekal).
4. Mukhalafatu
Lil Hawaditsi
(berlawanan dengan
sesuatu yang baru).
5. Qiyamuhu
Binafsihi (berdiri dengan
sendirinya).
6. Wahdaniyat (satu).
7. Qudrat
(berkuasa).
8. Iradhat (berkehendak).
9. 'Ilmu
(mengetahui).
10. Hayat (hidup).
11. Sama' (mendengar).
12. Bashar (melihat).
13. Kalam (berkata).
B.
Pemikiran Al-Asy'ary dalam Masalah Aqidah
Ada tiga periode dalam hidupnya
yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqidah; yaitu:
1. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubba'i bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya yang berlangsung selama 40 tahun. Periode ini membuatnya
sangat mengerti seluk-beluk aqidah Mu'tazilah hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
2. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan faham dengan faham-faham Mu'tazilah yang telah mewarnai
pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua
pemikiran Mu'tazilah selama 15 hari. Selama itu beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran aqidah Mu'tazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini beliau
menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
a. Qudrat
(berkuasa).
b. Iradhat (berkehendak).
c. 'Ilmu
(mengetahui).
d. Hayat (hidup).
e. Sama' (mendengar).
f. Bashar (melihat).
g. Kalam (berkata).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang
bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki dan seterusnya, beliau
masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa
Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai
penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan,
kaki, wajah dan lain sebagainya.
3. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7
sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang
shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah,
tangan, kaki dan seterusnya, akan tetapi beliau tidak melakukan hal-hal, di antaranya:
a. Takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah).
b. Ta'thil (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki).
c. Tamtsil (menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu).
d. Tahrif (menyimpangkan
makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya).
Pada periode
ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci aqidah salaf dan manhajnya.
C.
Tokoh-tokoh dan Ajaran-ajaranya
Adapun tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya
sebagai berikut:
1.
Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr
al-Baqillani
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran
Al-Asy’ary dari dua murid Al-Asy’ary,
yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili, wafat
di Bagdad pada tahun 1013 M.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras
dengan ajaran Al-Asy’ary, misalnya sifat
Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sefaham
dengan Al-Asy’ary mengenai perbuatan
manusia. Menurut Al-Asy’ary perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sedangkan
menurut Al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya. Menurutnya, yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang
terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan
oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada ekstrem,
dalam mengikuti suatu pendapat dan memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis
rasional tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah,
ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Boleh saja seseorang sampai
kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi
melalui berbagai eksperimen yang tidak buruk selama tidak bertentangan
dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2.
Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada
tahun 478 Hijriyah. Nama aslinya tidak begitu dikenal, akan tetapi ia dikenal
dengan nama Iman Al-Haramain. Ajaran-ajaran yang disampaikannya
banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ary, misalnya
tangan Tuhan diartikan ta’wil kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan
penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan, sedangkan mengenai
Tuhan duduk di
atas
tahta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat
yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai
efek, tapi efeknya serupa dengan
efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung
pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain
dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain. Dan
demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3.
Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang
lahir pada tahun 1058-1111 Masehi. Faham
teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan faham-faham
Al-Asy’ary. Dia mengakui bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat
Tuhan dan mempunyai wujud di luar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim
dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk berbuat lebih
menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang
disampaikannya adalah penolakan tentang faham
keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah
atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh
memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
D. Doktrin-doktrin Teologi
Al-Asy’ary
Formulasi pemikiran Al-Asy’ary
secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi
ortodoks ekstrem di
satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan
sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang
tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran
Al-Asy’ary yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.
Tuhan dan sifat-sifatNya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat
Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa menesakan Allah adalah
wajib. Al-Asy’ary dihadapkan
pada dua pandangan ekstrem. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah
dan kelompok Musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat yang
disebutkan dalam Al-qur’an dan Al-Sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami
menurut arti harfiahnya. Dalam pihak lain ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah
atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secara harfiyah melainkan harus dijelaskan secara alegoris. Menghadapi dua kelompok tersebut,
Al-Asy’ary berpendapat
bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tapa dalam hal ini tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya,
Al-Asy’ary berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitas-Nya tidak terpisah dari esensi-Nya.
2.
Kebebasan dalam berkehendak
Dari dua pendapat yang ekstrem, yakni
Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata
dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendaat bahwa
manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy'ary membedakan antara Khaliq dan kasb.
Menurutnya, Allah adalah Khalik (pencipta)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri adalah muktasib (yang
mengupayakannya). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3.
Akal dan wahyu
Walapun Al-Asy’ary dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan
wahyu, mereka berbeda dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal
dan wahyu. Al-Asy’ary mengutanakan
wahyu, sementara Mu’tazilah megutamakan akal.
4. Baik
dan buruk
Dalam menentukan baik buruk terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ary berpendapat bahwa baik dan buruk harus
berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
5. Qadimnya
Al-Qur’an
Al-Asy’ary dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam
persoalan qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (mkhluk)
sehingga tidak qadim serta pandangan madzab Hambali dan Zahiriyah yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah yang qadim
dan tidak diciptakan. Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan
bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan
yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun Al-Quran
terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.
Harun
Nasution
mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ary tidaklah diciptakan, sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا
أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)," Maka jadilah ia.”(Q.S. An-Nahl:40).
6. Melihat Allah
Al-Asy’ary tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriyah
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa
Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Muktazilah
yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ary yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
7. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ary dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Allah harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun
karena ia adalah Penguasa Mutlak.
8. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ary menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi
seseorang haruslah salah satu diantaranya
jika tidak mukmin
maka ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Asy‘ary adalah salah
satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen barat ketika
menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode
aqidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Asy`ariyah adalah sebuah
faham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ary. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ary, seorang
sahabat Rasulullah saw..
Ada tiga periode dalam hidupnya
yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqidah.
Formulasi pemikiran Al-Asy’ary
secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi
ortodoks ekstrem di satu
sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan
sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah.
Harun
Nasution
mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ary tidaklah diciptakan, sesuai dengan ayat:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا
أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)," Maka jadilah
ia.”(Q.S. An-Nahl:40).
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan demi baiknya makalah yang disusun berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihon.
2003, Ilmu Kalam, Bandung : CV Pustaka Setia.
Montgomery, Watt. 1999, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah,
Yokyakarta: Tiara Wacana.
Nasution,
Harun. 2002, Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan,
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Rozak, Abdul. 2009, Filsafat Ilmu
Kalam; Study Ilmu
Pemikiran Dalam Islam, Surakarta: Annual Conference.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar